Friday, 4 June 2010

Kisah dari Pondok Cina

Wah, ternyata hari sudah menunjukkan pukul 18.36 malam. Hal ini menandakan aku sudah harus pulang ke rumah. Hmmm, biasalah, aku bakal dijemput kereta ekonomi (haha, padahal gak dijemput juga alias harus beli tiket dulu). Segera berlari, lari, dan lari. Tak sempat pula aku membeli seplastik (kata penjualnya sih plastik antipanas…hehehe) kentang goreng langgananku dan segelas air mineral yang biasa aku beli di warung depan gerobak penjaja kentang itu. Maaf perutku sayang, jatahmu harus ku skors sementara. Ini hanya sebatas penghibur untuk rasa lapar yang sudah mulai melanda di persepsi otakku. Masih dengan langkah kaki yang agak menurun kecepatannya (faktor usia tidak memungkinkan untuk meneruskan lari), aku tiba di Stasiun Pondok Cina (Pocin), menyebrangi lintasan kereta, dan tiba di loket. Mendengar informasi bahwa kereta ekonomi baru masuk Stasiun Depok Lama, tanpa berpikir panjang aku langsung membeli tiket ekonomi seharga 1500 rupiah itu. Bahkan, ada info tambahan kereta itu hanya terdiri dari satu set alias empat gerbong. Ku masukkan tanganku ke saku celana biruku dan kutemukan 2000 rupiah yang lusuh. Setelah mengambil receh 500 rupiah, aku berjalan di peron Jakarta itu. Hmm, sepertinya sepi, tetapi dipenuhi oleh asap setan dari batang rokok.

Terlintas di pikirku kereta yang kutunggu tidak akan penuh. Aku meneruskan perjalanan ke arah tempat duduk yang biasa ku tempati. Memang dekat tempat sampah, tetapi ini selalu mengingatkanku untuk membuang sampah pada tempatnya (hehehe, gak nyambung mungkin...). Dan, kereta itu pun masuk Stasiun Pocin. Gubraaaaaaakkkqq, keretanya sangat, sangat, dan sangat penuh. Identik dengan keadaan kereta ke arah Bogor di malam hari. Aku berusaha mencari celah, entah itu 2 meter, 1 meter, atau mungkin 25 cm juga boleh. Yang kupikirkan saat itu hanyalah makanan enak yang tersaji di rumah dan empuknya kasur. Namun, apa daya. Celah tidaklah didapat. Sejenak aku harus melupakan manisnya aroma rumah. Dalam hati, sedikit kesal, benci, dan marah. Namun, ya sudah lah. Tinggal menunggu kereta ekonomi selanjutnya. Ini hanya sebagian kecil tantangan yang harus DIHAJAR. “Sabar ya, Ga. Orang sabar disayang Allah (hehehe...Amin).”

Ada yang lupa kusebutkan di sini. Ada yang menemaniku dan bernasib sama denganku di sepanjang jalan ini. Namanya Anes, mahasiswi FMIPA angkatan 2008. Kami sama-sama alumni SMAN 8 JKT dan pernah berjuang bersama di ujian S1 Nonreguler. Aku cukup bersyukur karena setidaknya ada yang menemaniku bicara untuk mengusir rasa kebosanan. Namun, pembicaraan kami pun hanya sesekali karena mungkin kami berdua memang sudah sangat lelah di balik fakta kalau kami memang kurang dekat. Apalagi ditambah pengakuan Anes bahwa dia habis UAS. Ternyata, nasibnya hampir sama dengan anak KL yang masih berkutat dengan tidak jelasnya tugas dan waktu UAS. Di sela waktu, Anes mengeluarkan Headset-nya (ini tulisannya bener gak ya…?) pertanda dia mau mendengarkan MP3 dari HP-nya sembari menunggu kereta. Dan, kerjaanku juga tidak jauh dari HP, melihat jam.

Ternyata, sudah lama aku menunggu kereta ekonomi selanjutnya. Sekitar 40 menit lebih. Memang setelah kereta ekonomi satu set yang pertama, kereta AC ekonomi dan ekspres bergantian melaju. Namun, ini tidak mengubah niatku untuk membeli tiket seharga 5500 rupiah itu (padahal, gak punya uang....hihihihi....). Pikirku, daripada hanya melihat jam dari HP, lebih baik kugunakan pulsaku untuk sms beberapa orang. Mulailah aku menulis pesan singkat di HP-ku tentang sebuah “proyek” dengan “asuhan-asuhan”-ku. Pesan itu pun lantas kukirim ke BS-ku , Naufal Elang Ciptadi (BS, gw masih bingung nih cara menangani anak itu. Introvert parahhhhh....T_T). Lalu, aku mengirim sms juga ke Ricky (mencurahkan ke-BeTe-an menungggu lama kereta itu), tetapi gak dibalas. Lalu, sms lagi ke orang lain dan orang lain. Sekitar 10 menit setelahnya, Ricky menelpon menanyakan kereta ke arah Bogor. Aku katakan padanya kalau dari tadi kereta ke arah Bogor berlimpah. Dia masih di FKM ternyata dan langsung berencana pulang. Celaka, setelah dia telpon, kereta ekonomi Bogor baru masuk Stasiun Manggarai. Ckckckckckck.....

Menunggu, menunggu, dan menunggu. Di penantian itu, aku mulai berpikir dan merenung (hobi pertama gw nih, bukan nyanyi....hehehe). Malam hari memang waktu di mana diriku menjadi seorang konseptor atau cenderung menjadi pemikir. Aku berpikir mengapa pelayanan tranportasi yang sangat diandalkan publik ini begitu lemah dan buruk. Hal yang sederhana, mengapa kereta ekonomi, yang sangat diandalkan oleh para pedagang kecil untuk mengantar dagangannya ke Pasar Minggu, Depok, dan Bogor sudah sangat jarang terlihat melintas di rel itu? Mengapa ketika kereta itu ada malah hanya terdiri dari satu set alias empat gerbong atau dengan kata lain hanya cukup menampung orang dengan jumlah sedikit? Apakah perusahaan yang mengurus kereta itu tidak tahu betapa tidak nyaman berdesakkan di dalam kereta itu? Apakah mereka tidak tahu bahwa sebagian besar masyarakat sangat bergantung dengan transportasi yang katanya murah dan cepat itu untuk menyambung hidup dan mencari nafkah untuk keluarganya? Apakah kabar yang selama ini menyatakan bahwa eksistensi kereta ekonomi akan dikikis habis hingga pada akhirnya perannya digantikan oleh kereta AC dan ekspres itu benar adanya? Apakah mereka tahu berapa penghasilan para buruh, pekerja, dan pedagang kecil yang selama ini menggunakan kereta ekonomi itu? Apakah pernah terpikir di benak mereka bagaimana beratnya sebagian orang untuk hanya mengeluarkan uang seharga 1500 rupiah untuk sekadar menggunakan jasa kereta ekonomi? Bagaimana mungkin bisa mereka mengeluarkan biaya 5500 rupiah sekali pergi perhari sedangkan mencari biaya untuk makan dan menyekolahkan anak-anak mereka pun sangat sulit? Bahkan, aku pun yang berstatus mahasiswa dan cenderung lebih mampu secara ekonomi selalu berpikir ulang untuk mengeluarkan uang sebesar itu (terutama, akhir-akhir ini). Blablabla.....bertanya, bertanya. Itu semua dan banyak pertanyaan lain yang berperang di dalam pikirku tanpa tahu jawabnya.

Dan di saat itu pula, teringat ucapan Andi Hakim, temanku dari Fakultas Psikologi UI yang juga alumni SMAN 8. Dia pernah bilang seharusnya, sekali-kali, mahasiswa UI turun aksi ke markasnya perusahaan yang mengurusi perkeretaan di Indonesia itu. Ke Istana Negara, ke Bundaran HI, atau ke MK sudah biasa menurutnya. Setidaknya, aspirasi kita untuk menuntut perbaikan pelayanan transportasi umum itu dapat tersampaikan dan akan sangat baik bila mereka mau mendengar dan memperbaiki sisten mereka. Lagipula, itu kan hak kita sebagai rakyat Indonesia untuk menikmati kenyamanan mengggunakan kereta, terutama kereta ekonomi. Hmm, mungkin ini yang namanya liberalisasi. Semua hal yang berkenaan dengan kepentingan dan kesejahteraan rakyat dicuekin atau bahkan ditanggguhkan. Yang penting, uang mengalir dan mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa peduli dengan tangisan rakyat. Masih baik bila uangnya mengalir ke kas negara. Nah, bagaimana jika mengalirnya ke kantong oknum-oknum tertentu....??? Wah, gonjang-ganjing kontroversial....

Kulihat jam di HP-ku. Sudah pukul 19.45. Itu berarti sudah 1 jam lebih berlalu semenjak aku masuk ke stasiun ini. Kereta ekonomi selanjutnya pun sudah masuk Stasiun Depok Baru. Namun, ada lagi tantangannya. Lagi, kereta ekonomi itu pun hanya terdiri dari satu set empat gerbong. Huuuuuuuuuuuuaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa……………..

Aku mencoba menenangkan diri. Berpikir positif dan optimis, berharap kereta itu akan kosong. Sekejap mata, lampu dari arah selatan sudah memancarkan sedikit harapan dari pelanggan-pelanggan setia yang ingin pulang. Dan, gubraaaaaaaaaaaaaaakkkqq, keretanya penuh lagi. Aku dan Anes seakan tak peduli lagi. Kali ini, kami sudah harus menyelesaikan rintangan ini. Kereta itu lewat di sampingku. Mataku mengintip. Ada celah 25 sentimeter terlihat di gerbong. Kereta berhenti. Aku dan Anes berlainan gerbong sebagai pertanda kami berjuang sendiri-sendiri. Satu orang menyelak dari belakang. Mulutku memang terkunci rapat seraya berebutan dengan penumpang lain untuk segera masuk ke dalam kereta, tetapi dalam hati berteriak, “Woi dasar orang gila, sakit, gak punya hati, dan %*#&@(@*&#(_)@*#&....” Kaki kananku berhasil masuk, disusul oleh kaki kiri. Seorang bapak dengan barang dagangannya dengan ukuran cukup besar sempat membuatku sulit untuk masuk. Alhamdulillah, dapat kulewati. Seketika, berbagai aroma duka sudah menyambut hidungku. Hhuh, tak perlu ku pikirkan lah. Yang harus kupikirkan adalah bagaimana cara berdiri tegar di antara desakan orang sambil mempertahankan tasku dengan risiko kecopetan yang sangat tinggi. Tetap konsentrasi dan aku terus memotivasi diriku sendiri, “Fokus, Ga, fokus... Ini tantangan dan tidak ada tantangan yang gak bisa kau HAJAR...!” Hanya itu yang bisa ku lakukan karena di sampingku tidak ada orang yang bisa menghibur dan memotivasiku. Dan, aku pun menikmati indahnya malam (padahal, jendela keretanya gak terlihat karena tertutup badan orang) di perjalanan panjang ini. I’m coming back home…. ^^

FIN.

(Cerita ini berdasarkan kisah nyata yang dialami oleh penulis. Penulis mohon maaf bila ada kesalahan, baik itu disengaja atau tidak, dalam cerita ini).




*Tulisan ini didedikasikan untuk seluruh rakyat Indonesia yang tertindas dan semua pengguna jasa layanan kereta rel listrik yang sangat aku banggakan....

Read More......