Tak terasa bulan itu sudah purnama
Aku melihat kawanan awan bergerak
Mencoba menutupi sinaran terang
Namun hanya bisa memendarkan
Bila harus mengingat, aku kan ragu
Kapan saat pertama itu?
Mengapa bisa ku lupakan momen terbaik itu?
Aku dapat mengenalmu
Ruang-waktu ini makin relatif
Seperti kemarin saja
Kau masih begitu muda
Bahkan tak sekejap pun aku menyadari
Andaikan gelas kaca itu ada
Takkan sanggup menangkup memori-memori
Air-air kenangan itu akan tumpah
Bahkan mampu pecahkan wadahnya
Bantu aku mengisi gelas-gelas hampa
Ya, kita sedang melakukannya
Perlahan saja
Momen ini terlalu berharga
Ketahuilah, banyak hal yang tak kau ketahui
Kau berusaha keras untuk pecahkan teka-teki
Kau takkan pernah temukan jawabannya
Bahkan bila kau tak pernah siap
Sadarilah adanya pengemis cinta
Mengerti cinta tapi selalu tanpa bahagia
Karena dua sisi mata uang
Bahkan cinta dapat hancurkannya
Kau hanyalah satu dari labirin semesta hidup
Yang memberiku lagi hangatnya harapan
Jangan pernah pergi, ini akan melelehkanku
Bebaskanku dari kebekuan jiwa
Hai, sahabat jiwa
Apa kabar malam ini?
Sapa aku sebelum lelap
Sampai jumpa dalam mimpi indah kita....
Wednesday, 29 July 2015
Sahabat Jiwa
Thursday, 22 January 2015
Masa Itu
Sore ini, aku menjalani rutinitas.
Dalam perjalanan, ku melihat keluar dari kaca M 34.
Menyelami keadaan hujan yang membasahi kota hari-hari terakhir.
Rangkaian imaji kembali datang dalam keheningan.
Aku teringat saat-saat itu. Saat masih dalam putih abu.
Ketika aku baru saja tiba di kelas yang diapit tangga, toilet, dan koperasi.
Teman-teman telah bicara masa depan.
Cita-cita mereka untuk berkuliah.
Hanya seputar itu, Depok atau Bandung.
Padahal masih pukul 6.15, mereka sudah berdiskusi serius.
Aku masih masa bodoh tanpa peduli seakan belum terpancing.
Namun dalam hati, aku menghargai keseriusan mereka.
Lalu, aku teringat hal lain.
Selalu setiap hari Jumat, jam pelajaran akhir sekolah.
Seharusnya fisika yang kami babat menjelang pulang itu.
Namun yang kami lakukan malah menggoda Pak Heri.
Entah itu tentang mobil jeep nya, kunci penjaranya, atau malah kampungnya pun diurusi.
Ya saat itu memang beliau masih dipanggil Pak Vijhay, karakter inspektur di film-film Hindustan zaman dulu.
Sepertinya sekarang sudah tidak seperti itu.
Jumat jam terakhir adalah waktu bercanda. Tak apa, yang penting beliau mengizinkan.
Ingat pula jadwal Senin. Hari senin selalu membuat lelah.
Ada jam olahraga yang terpisah jam istirahat.
Bukan, bukan itu yang jadi masalah. Waktu nya di siang hari yang membuat habis tenaga.
Aku dan yang lain berfutsal yang tak pernah serius itu. Para wanita? Urusan Pak M.S.M.
Belum lagi dilanjutkan Bahasa Indonesia kelas Pak Aye. Kami harus menjawab gaya absensi kelasnya yang unik.
Selalu meminta surat keterangan dari anak yang sakit. Sepertinya tidak ada yang pernah memberi surat setahun itu.
Dan jam terakhir, dimana aku selalu tidak pernah tahu Bu Elly sudah berada di kelas.
Hanya suaranya yang selalu terdengar keras ketika mulai mengajar.
Ingat pula kawan-kawan terbaikku, setidaknya termasuk yang terbaik dalam hidupku.
Kawan semejaku, Arif, he's the best. Selalu membuat suasana cerah meskipun hadapi soal integral yang dahsyat itu.
Belum lagi humor dan candanya.
Contoh? Arif adalah yang pertama membandingkan guru 8 dengan karakter Dragon Ball.
Guru English kami, yang bahkan di awal kelas XII sempat dia sebut guru Agama Islam yang mengajar dengan English, pun jadi target.
Dia bilang beliau mirip Dr. Gero, sang pemimpin Red Ribbon.
Teman kami pun kena getah juga.
Masih teringat ketika tiba-tiba dia memintaku untuk melihat kawan kami, Tri, yang duduk di belakang kami.
"Ga, ada Piccolo..!"
Aku hanya bisa menahan tawa dan bayangan akan Piccolo selalu tak bisa lepas ketika harus ngobrol dengan Tri.
Tri pun sepertinya tidak memahami apa yang kami maksudkan.
Tentang Tri, teman duduk semejanya selalu berganti.
Kalau bukan Brian, pasti Arie. Asal salah satunya datang lebih awal, dia yang akan dapat kursinya.
Namun biasanya, Arie yang selalu telat datang. biasanya 5-10 menit dari bel masuk yang saat itu masih pukul 6.45.
Dan rejeki Arie biasanya duduk di pojok kiri belakang dekat lemari kayu tua bobrok.
Biasanya ditemani sama ratunya telat dan jarang masuk. Aku dan Arif biasa panggil teman kami ini dengan Suci.
Tidak apa karena sepenglihatanku, Suci jadi target dakwah fardiyah nya Arie, setidaknya untuk mengingatkan dia salat.
Menjelang Ujian Nasional, Suci akhirnya jadi lebih rajin masuk sekolah dan belajar.
Ini karena Brian yang sepertinya memang berhasil membimbing Suci ke jalan yang benar. Alhamdulillah.
Angkot ini sepertinya berjalan sangat lambat.
Semua kenangan itu masih seperti kaset yang berjalan.
Masih berjalan dengan kecepatan yang dapat menembus langit.
Ya ampun, masih di Tebet Barat.
Aku kembali terkenang dengan teman-teman, hanya tidak secara spesifik.
Di kolom kiri, duduk para lelaki macamnya Yosia sang ketua kelas, Daniel, Berlan, Putut, sampai Doni yang jadi kesayangan Bu Ermi.
Berlan selalu membicarakan musik denganku walau mayoritas lagunya bukan yang aku pahami.
Di kolom tengah-kiri, di sinilah aku berada. Di depanku ada mantan ketua PO Mamad dan Rani yang selalu heboh di setiap saat.
Di kolom sisa? Para wanita berkumpul. Dari yang paling kalem seperti Hanifah, yang pintar seperti Sarah.
Bahkan ada yang pernah "clash" sama Bu Astri karena masalah Markovnikov. Masalahnya, aku lupa siapa orangnya.
This was my class, the greatest I've ever had, XII IPA B.
Ibu-ibu yang duduk di seberang mengeluarkan suara.
Dia meminta untuk berhenti di sini.
Tempat yang sama di mana aku ingin turun.
Masih hujan, semoga payungku yang tertinggal masih ada di gedung 44...