Chapter 2: Bajram Serif Mubarek Olsun...!
Ramadhan is back! Bulan yang pernuh berkah telah kembali. Bulan yang selalu dirindukan oleh umatNya. Bagi saya sendiri, bulan Ramadhan selalu membawa memori penting dalam hidup saya, setidaknya hingga saat ini. Seketika memasukinya, saya selalu terbawa nostalgia dengan momen-momen berkesan di dalamnya. Saya teringat dengan masa-masa dimana sahur keluarga ditemani dengan acara Sahur Kita yang saat itu dibawakan oleh Eko Patrio dan Ulfa Dwiyanti, acara yang dikenal dengan kuis pantun dan klip-klip singkat dari single pilihan. Menjelang maghrib, saya besar bersama acara Asep Show yang menampilkan tokoh wayang Cepot dan ditemani dengan para bintang tamu. Acara ini begitu berkesan dalam masa kecil saya sehingga saya cukup kaget ketika Asep Sunarya, Sang Dalang, meninggal 3 tahun lalu. Lalu, jangan lupa dengan sinetron Lorong Waktu yang dibintangi Jourast Jourdi, Dedi Mizwar, Adjie Pangestu (digantikan dengan Dicky Chandra di musim berikutnya), dan Christy Jusung. Sama seperti film Dedi Mizwar lainnya, Lorong Waktu merupakan tayangan positif bagi keluarga. Tarawih di masjid komplek mengakhiri hari yang imamnya tidak jauh dari H. Muslih Nashoha, MM. Saya ingat sekali surat favorit beliau adalah Al Insyirah. Namun bagi saya yang saat itu masih kecil, tarawih akan jadi “mimpi buruk” bila yang menjadi imam sekaligus penceramah adalah KH. Ishak Iskandar. Dijamin tidak bisa pulang cepat. Hehe…
Ya, memori-memori itu bergaung ketika musim dingin di Sydney juga beriringan dengan Ramadhan 1437 Hijirah. Suasana berbeda tentu sangat berasa. Meski saya tahu ada kawan-kawan Indonesia saya di sini, tetapi tetap saja saya tidak akan bisa menghabiskan dan memanfaatkan Ramadhan seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada keluarga dan teman-teman karib yang menemani. Tidak ada tayangan Ramadhan di televisi. Tidak ada buka puasa subsi-subsi. Dan, tidak ada momen lainnya. Makanan sahur dan berbuka pun semua saya persiapkan sendiri.
Di balik ini semua, saya tetap bersyukur bahwa saya tinggal di “kelurahan” dengan mayoritas penduduk muslim di Sydney. Pasar Maghrib yang biasa saya temukan di jalanan Pancoran juga dapat saya temukan di sini, menandakan bahwa kultur Ramadhan yang tidak jauh berbeda. Bedanya, tidak ada aneka gorengan, cendol, es buah, atau makanan Indonesia lainnya. Mayoritas makanan yang dijual di sepanjang Haldon Street adalah makanan dari kawasan Asia Selatan, Lebanon, dan sedikit panganan Melayu. Saya tidak terlalu paham nama dari beberapa makanan yang saya beli, tetapi di antaranya ada samosa, beef curry, murtabak, dan sate (yang ini saya beli dari Halal Supermarket, toko Indonesia di Lakemba). Harganya bervariasi, dari AUD 2.00 hingga AUD 10.00. Saya beruntung karena lidah saya memang cocok dengan kuliner Asia Selatan. Namun tetap saja, saya masih merindukan jajanan Indonesia. Salah satu hari saya mengundang Fikri dan Mbak Tia untuk wisata kuliner di Lakemba dan berbuka puasa di kediaman saya. Kami pun memborong banyak makanan, berbincang sambil bermain poker, yang berlangsung sampai malam.
Wisata Kuliner bersama Mbak Tia & Fikri
Penjual Murtabak a la Malaysia di Haldon St.
Hasil Buruan Pasar Maghrib untuk Ifthar
Cobaan yang sebenarnya adalah ketika saya ingin mendirikan salah satu ibadah Ramadhan andalan saya, salat tarawih. Tentu, saya keinginan saya adalah tidak ada cela saya tinggalkan selama 30 hari penuh dimana mayoritasnya saya lakukan di masjid. Namun dinginnya suhu udara ambient saat winter membuat sebagian besar ibadah tarawih saya lakukan di rumah. Ditambah lagi di awal-awal Ramadhan, saya masih disibukkan dengan deadline tugas-tugas kuliah dan persiapan ujian akhir semester untuk Intro Biostatistics dan Epidemiology. Saya bersyukur di sepertiga akhir Ramadhan, saya bisa memaksimalkan waktu untuk tarawih di Masjid Lakemba meski harus melawan udara 6 derajat di pukul 7.00 pm.
Ujian Akhir Semester Intro Biostats di MacLaurin Hall
Di antara hari-hari Ramadhan itu, ada kalanya saya berbuka puasa di mushalla kampus, di Old Teacher’s College Building. Sejak 30 menit sebelum azan Maghrib, mushalla sudah mulai diramaikan dengan kehadiran mahasiswa-mahasiswa muslim dari berbagai negara. Awalnya, kehadiran saya diinspirasi oleh Audy dan Mbak Tia yang lebih dahulu berkesempatan untuk berbuka puasa di mushalla kampus. Menu yang ditawarkan biasanya tidak lepas dari makanan Timur Tengah dan Asia Selatan, seperti nasi briyani dan charcoal chicken. Di sisi lain, saya merasa perlu untuk merasakan berbuka puasa di kampus karena bisa jadi tidak ada kesempatan lain yang serupa. Bahkan ada momen dimana saya diminta menjadi imam salat tarawih, berbagi kesempatan dengan kawan lain pengurus Sumsa. Setelah menyanggupi 12 rakaat awal dan menyelesaikan 23 rakaat, saya pulang dengan membawa 1 porsi charcoal chicken dari cukup banyak yang tersisa dari buka puasa hari itu.
Pada malam takbiran, 5 Juli 2016, saya, Fikri, dan Mbak Tia diundang untuk makan malam di kediaman Johan dan istri di Todman Avenue, Kensington. Saya tiba paling akhir dan bertepatan azan Maghrib. Maka sejenak setelah membatalkan shaum terakhir di bulan itu, kami menunaikan ibadah Maghrib. Kami berencana untuk memasak beef steak di malam itu. Namun sebelumnya, kami berkesempatan untuk menikmati soto ayam karya dari Rizka. Setelah itu, saya memulai untuk memperagakan sedikit skill atau tips and tricks dalam memasak steak. Dengan bahan-bahan yang relatif simple seperti daging sapi secondary cut, bawang putih, unsalted butter, minyak zaitun, dan tidak lupa dengan garam-merica, kami mampu membuat steak kualitas hotel bintang 5. Kami melanjutkan dengan bermain kartu poker. Sekitar pukul 10 malam, kami pulang ke kediaman masing-masing untuk mempersiapkan diri menyambut hari raya keesokan harinya.
Malam Takbiran di Kediaman Johan & Rizka
Meskipun berniat berangkat lebih awal ke masjid untuk salat subuh dan ‘Ied, saya akhirnya berangkat terlambat. Dan, saya telah sadar sejak awal bahwa ini kesalahan fatal. Tidak terpengaruh dengan fakta bahwa ini akan menjadi pengalaman pertama saya menghabiskan hari raya di negeri orang, saya sudah percaya bahwa masjid akan ramai dikunjungi jamaah dari berbagai penjuru kota. Apa yang terjadi kemudian pun memang sesuai dengan prediksi saya. Wangee Road yang telah ditutup demi kepentingan ibadah sudah disesaki banyak orang, menandakan area masjid sudah tidak mungkin dimasuki. Saya pun akhirnya salat di jalan raya yang saat itu telah beralaskan terpal. Saya bersyukur karena saya membawa praying mat sendiri dari rumah. Dengan berjaket dan berpakaian tebal, saya harus mampu menunaikan salat plus mendengarkan khutbah (saat itu cukup panjang karena ada tamu dari anggota dewan Lakemba) di tengah dinginnya Sydney. Tidak lupa saya mengambil beberapa foto dan video untuk merekam hangatnya suasana Idul Fitri di Masjid Lakemba. Saya baru meninggalkan lokasi setelah mendengarkan pesan-pesan yang disampaikan dari para anggota dewan. Hal keren yang terjadi di sini adalah isi khutbah Ied yang menyampaikan pentingnya diversitas sebagai bekal kekayaan Sydney dan Australia serta mengutuk aksi Islamophobia dan rasisme yang masih sering ditemui dan ditunjukkan beberapa tokoh politik di negeri Kanguru. Salah satu yang masih menjadi sorotan hingga saat ini adalah Pauline Hanson. Kebijakan dan ide yang diusungnya akan langsung mengingatkan kita dengan presiden USA saat ini, Donald Trump, tetapi lebih menyebalkan. Saya hanya bisa berdoa semoga kekayaan kultur yang ada di Sydney dan Australia tetap terjaga.
Suasana Wangee Road sebelum Salat 'Ied
Sepulang dari Masjid Lakemba, saya memutuskan untuk rehat sejenak sambil menunggu komunikasi dari Fikri atau Mbak Tia. Kami memang berencana untuk mengunjungi kediaman teman-teman asal Indonesia yang ada di Sydney, salah satunya adalah kediaman Mbak Ijan. Namun karena ada misskomunikasi, ibadah salat Ied di Campsie lebih cepat selesai dan kawan-kawan yang berkunjung dari Glebe sudah beranjak ke kediaman Mas Leo dan Mbak Kezia. Tersisa saya dan Mbak Tia di kediaman Mbak Ijan. Saya pun memutuskan untuk sedikit lebih lama di sana sambil menikmati sajian kuliner lebaran yang ada. Setelah itu, saya dan Mbak Tia berangkat menuju kediaman Mas Leo dimana sudah sangat ramai dengan para tamu. Berbagai makanan dan minuman juga tersedia, dari charcoal chicken dengan toum (garlic sauce ala Lebanon), rendang daging, dan sambal Mbak Kezia yang luar biasa itu. Di rumah ini lah saya bertemu dengan genk Glebe juga Mas Dani dan Mbak Sinta. Sekitar pukul 13, saya pergi ke Campsie Centre untuk belanja kebutuhan memasak rendang dan opor ayam. Untuk apa? Saya akan mengadakan open house kecil-kecilan besok harinya.
Setelah istirahat siang sebentar, saya mulai menyiapkan bahan-bahan halus untuk rendang daging dan opor ayam. Rendang daging menjadi makanan yang didahulukan. Dengan kata lain, saya akan melewati malam 2 syawal dengan begadang. Sebut saja ini sebuah “syarat mutlak”, proses merendang harus dilakukan sepenuhnya di kala matahari belum terbit di ufuk timur. Mungkin tidak ada basis sains, tetapi kondisi ini diyakini mampu membuat hasil proses merendang menjadi sangat enak. Untuk opor ayam, saya baru memasaknya di sore hari menjelang kedatangan Fikri, Mbak Tia, dan Johan. Dan ternyata memang benar, Fikri dan Mbak Tia mengetuk pintu kediaman saya ketika potongan-potongan ayam sedang digoreng. Kesempatan ini saya jadikan momen untuk berbagi sedikit pengetahuan kuliner dengan mereka berdua. Berbagai rempah utuh dan bumbu halus saya perkenalkan agar mereka berdua mulai terbiasa dengan kekayaan kuliner ini. Perhatian mereka berdua tidak luput dari tudung saji berwarna merah di atas meja serbaguna. Mereka menemukan harta karunnya, rendang daging yang telah siap untuk disantap bersama. Sedikit dive in, saya tahu bahwa saya berhasil mereka bahagia dengan persembahan sederhana saya. Alhamdulillah, mereka menyukainya. Lalu, Fikri membantu saya menyelesaikan pemasakan opor ayam, sedangkan Mbak Tia membuat rekaman video dan mengambil beberapa dokumentasi foto. Sambil menanti kedatangan Johan dari laboratorium kampus, saya menurunkan panas dari hot plate secara perlahan, menandakan opor ayam masuk ke tahapan slow cooking. Ketidaksabaran Mbak Tia untuk segera melahap sajian malam ini baru berakhir setelah Maghrib. Saya menjemput Johan di depan rumah. Mbak Tia menjadi orang pertama yang mengambil porsinya. Dan, kami akhirnya makan sajian hangat ini di tengah dinginnya hujan. Sambil bersenda gurau, kami bermain kartu poker hingga sedikit lupa waktu. Setelah membungkus opor ayam dan rendang daging, Fikri, Mbak Tia, dan Johan pulang ke rumah masing-masing. Opor ayam yang dibawa Johan tentu saja untuk sang istri yang berhalangan hadir di open house ini karena sakit. Melalui WA, Rizka menyampaikan rasa terima kasih.
Open House pada Hari Kedua Lebaran
Sesepi apapun suasana Ramadhan ini, tetap saja menjadi memori dan pengalaman berharga dalam hidup saya. Tiada satu pun manusia beriman yang tahu apakah dia akan bertemu kembali dengan Ramadhan selanjutnya. Namun, saya akan tetap berharap ada usia yang menjembatani hari ini dan 3 bulan yang akan datang. Saya menanti memori lain yang akan ditanam. Mungkin ada cerita Ramadhan baru di pantai, gurun savannah, atau pesisir sungai. Atau mungkin, kembali ke Masjid At Ta’awun…. ^^
-to be continued-
*Tulisan ini berasal dari perspektif pribadi. Bila ada kesalahan yang tidak disengaja atau pun disengaja, harap dimaafkan. Semoga bisa kembali di tulisan berikutnya.
Read More......