Thursday, 18 May 2017

Narasi Kebahagiaan

Pikiran saya sore ini agak mengacau
Saya yakin karena kurang tidur yang berkualitas
Di tengah-tengah pencarian dalam hidup saya
Otak ini mengajukan satu kata abadi
Kebahagiaan

Apa yang terlintas dalam benakmu?
Berkumpul bersama orang-orang yang kau cintai?
Mendapatkan nilai terbaik di kelas?
Dikaruniai anak anak saleh dan saleha?
Wisata kuliner di padatnya ibukota?
Apa kebahagiaan itu ada nilainya?
Apa kebahagiaan itu ada standarnya?
Apakah kebahagiaan itu semu belaka?

Kita mengenal kata ini sejak kita mengenal kata
Mendengarnya dari kedua orang terkasih yang sabar menunggu kita ucapkan kata pertama
Tapi apakah semua orang mendapatkannya di waktu yang sama?
Apakah semua orang menyadarinya ketika dia datang?

Coba kita tengok sekejap di layar televisi
Atau, ponsel berkameramu yang terkoneksi internet 24 jam seminggu
Ada mereka yang negerinya dihujani rudal rudal tanpa henti
Ada mereka penjaja dagangan berusia renta yang masih diliput kemalangan
Bayangkan saja, masih ada orang muda yang memberi mereka uang palsu
Membayangkannya saja membuat saya jijik dengan manusia

Ada mereka anak-anak kicik membawa gitar mungil lalu menyanyi lirik lirik melodi
Tidak bagus suaranya
Seringkali saya tidak ada respek
Bukan ke mereka
Tapi pada orang tua mereka
Mereka berhak bermain dan bergurau dengan kawan sepermainan mereka
Bukan di macetnya kota bermandikan polusi karbon monoksida
Mereka harusnya ada di sekolah
Mengenal budi pekerti
Memahami makna “maaf”, “permisi”, “terima kasih”
Bukan mengucap hewan-hewan peliharaan hanya untuk memanggil pengamen jalan
Bukan jarang pula melontarkan kata kata kasar pada penumpang bus kota
Alamak, mengerikan sekali negeri ini
Apakah mereka bahagia?
Mungkin saja
Karena mereka dipaksa untuk itu di kondisi mereka
Membayangkan kondisi ini membuat saya jijik dengan manusia

Ada mereka penjual kopi jalanan
Mereka keluar di malam hari
Bila kau tak percaya, coba saja berjalan di kawasan Kuningan
Di saat kau mencoba pulang dari ganasnya jalan raya
Mereka bertebaran dengan mengayuh sepeda tua
Dengan berbagai macam kopi dan minuman sachet di belakangnya
Mereka mengeluh, mungkin saja
Tanpa bertanya, saya tahu jawaban mereka
“Cari kerja susah, Mas”
“Buat ngidupin anak istri, Mas”
“Gak ada modal gede, Mas”
Dan beribu alasan lain
Seringkali saya ingin mengeluarkan pocket camera untuk sekadar memotret wajah mereka
Tapi saya tidak bernyali
Apa mereka bahagia?
Mungkin saja
Bersyukur saja meeka masih bisa terbahak bahak di atas gitar bersama pengemudi ojek online
Mereka harusnya bisa lebih baik
Namun, saya tidak punya daya saat ini
Sialan, saya jijik pada diri sendiri

Bagaimana dengan orang-orang yang tinggal di kawasan terpencil itu?
Kampung nelayan yang saya datangi bertahun-tahun lalu
Astaga, bagaimana mereka bisa bertahan?
Saya ingat teriknya matahari bercampur udara kering berpasir menyapu sekujur tubuh
Mereka bahkan tidak punya toilet
Apa mereka bahagia?
Mengapa tidak?
Mungkin definisi kebahagiaan mereka adalah ketika para ayah yang membawa hasil laut melimpah
Atau, sekedar menyambut saya dan kawan-kawan yang mungkin hanya membawa sedikit pertolongan
Entahlah, saya tidak bertanya.

Hidup ini memang menyiksa orang-orang yang bertanya
Padahal, kami hanya ingin jawaban
Jawaban yang bisa jadi tidak memberikan kami kepuasan setimpal
Namun, selalu layak untuk diperjuangkan
Bukan jawaban yang terbaik
Namun, bisa jadi memberikan saya seberkas kebahagiaan.

…………………………………………………………………………………………

Ah, dia datang juga
Orang yang saya tunggu lama
Bahkan saya tidak sadar bahwa saya lupa menambahkan gula ke cappuccino saya
Baiklah, besok-besok saja lagi merenungnya….




*Ditulis di tengah keramaian kedai kopi di kawasan Menteng, April 14 2017, menunggu orang….

No comments:

Post a Comment