A Man in Sydney
Chapter One: A New Beginning
Tidak terasa bahwa waktu saya di Selatan Bumi yang indah ini akan segera berakhir. Musim panas pun telah meyambut hari—hari. Keadaan ini sama dengan yang saya temui saat pertama kali berpijak di Sydney tanggal 16 Februari 2016 lalu. Mungkin, panas 37 derajat nya sama dan mewakili antusiasme diri saya saat itu. Antusiasme dari seorang yang diberikan kesempatan lebih oleh orang lain. Dan, saya sangat sadar bahwa semua akan berbeda dari apa yang selama ini saya dapatkan di Jakarta.
Saya tidak percaya dengan konsep keberuntungan. Namun bila diizinkan, saya ingin berkata bahwa saya beruntung sekali karena ada orang-orang baik yang membantu saya dalam membuat langkah-langkah awal. Sebelum terbang, saya belum memiliki kepastian tempat tinggal, tetapi keluarga Mbak Puji dan Mbak Betty menjadi penyelamat. Kemurahan hati mereka memberikan ruang keteduhan dalam 17 hari pertama.
Tibalah saatnya mencicipi suasana kampus baru. Foto di depan The Quadrangle seakan menjadi sebuah keharusan. Saya tida mengira pada awalnya bahwa ternyata hampir setiap hari lapangan depan simbol USyd ini didatangi oleh turis mancanegara.
Tentu orientasi saat summer menjadi momen menarik. Ada banyak stand unit kegiatan mahasiswa yang dibuka sepanjang Eastern Avenue dan di lapangan Quad. Saya tidak terlalu ingat stand mana yang saya datangi. Namun saat itu, saya sangat tertarik untuk bergabung di tim panahan walau pada akhirnya saya tidak bergabung. Well, keputusan yang menjadi sangat tepat.
Di periode orientasi, banyak kelas-kelas pengenalan kampus dan Sydney, juga kelas-kelas terkait pengembangan diri. Saya mungkin termasuk yang paling rajin mengikuti kelas-kelas pengenalan ini meskipun konten yang dibawa cenderung sama. Namun, saat itu target audiens-lah yang membedakan. Tentu, informasi pantai dan keselamatan di sana menjadi yang paling menarik. Tentu, karena saya terlalu cinta dengan pantai. Dan, saya ingat Sang Instruktor memilih Manly Beach sebagai pantai favoritnya. Cukup mengagetkan karena awalnya saya pikir semua orang akan memilih Bondi Beach yang memang cenderung menjadi ikon Sydney selain gedung operanya. Di salah satu kelas pengembangan diri tentang Mindfulness, saya pertama kali bertemu dengan Johan, lulusan ITB yang juga mahasiswa baru USyd seperti saya.
Penyambutan mahasiswa baru di The Quadrangle menjadi momen pertama saya bertemu dengan teman-teman LPDP yang masuk di periode yang sama, musim gugur 2016. Awalnyapun saya tidak menyadari bahwa mereka duduk di barisan depan saya. Namun, saya tahu bahwa ada orang Indonesia di barisan itu mengingat baju batik yang rutin dikenakan oleh Ario Bimo. Ada Rhiza dan Fikri juga di situ. Saya telah melakukan kontak dengan Fikri sebelum berangkat ke Sydney terkait akomodasi dan hari itu menjadi momen pertemuan langsung pertama.
Mencari akomodasi untuk setahun ke depan menjadi tantangan tersendiri. Pastinya saat itu, aku berpikir untuk segera menemukan tempat yang tepat karena tidak ingin terlalu lama merepotkan keluarga Mbak Puji dan Mbak Betty. Akibat dari salah satu acara TV pada bulan Ramadan 2015, Lakemba, The Muslim Capital of Australia, menjadi prioritas utama pencarian. Aplikasi Domain menjadi andalan dan tiada hari saya lewati untuk membukanya. Sempat dua kali saya mendatangi akomodasi yang tersedia di wilayah Lewisham, tetapi memang sepertinya tidak berjodoh. Yang pertama, sepertinya saya telat dan yang kedua, agennya tidak hadir meski ada beberapa orang yang telah menunggu lama di depan premises. Kesempatan ketika tahu bahwa unit 18 di rumah nomor 12 Lakemba tidak saya sia-siakan. Saya ingat sekali bahwa saat itu saya yang pertama kali datang ke unit. Tidak lama kemudian, Sarah Hamaoui, sebagai perwakilan agensi datang dan disusul dengan beberapa orang calon penghuni baru. Namun, sepertinya doa saya dikabulkan. Sarah langsung memberikan saya formulir rental unit dan berjanji akan memprioritaskan saya. Selang beberapa hari dan setelah membayarkan bond, saya diberikan kunci rumah. Namun karena kondisi unit saat itu masih kosong akan perabotan rumah tangga, saya memutuskan untuk tetap tinggal beberapa hari lagi di Campsie sambil mencicil keperluan rumah tangga.
Minggu, 6 Maret 2016, selang sehari setelah pindah ke unit baru, saya dan kawan-kawan Fall LPDP pergi ke Sydney Opera House. Agenda utama tentu berfoto di simbol Sydney ini. Di sini, pertama kali saya bertemu dengan Mbak Praditya. Hari itu, hanya kami berempat, saya, Bimo, Rhiza, dan Mbak Tia. Fikri tidak hadir karena sehari sebelumnya dia menghadiri parade Mardi Gras. Percayalah, saya tidak ingin membahas parade itu hehe. Tapi intinya parade itu membuat beberapa ruas jalan utama ditutup dan tidak ada kendaraan umum, keadaan yang mengharuskan Fikri untuk berjalan kaki pulang ke rumah di larut malam. Di hari yang sama pula, dikarena keadaan terdesak yang membutuhkan tempat untuk salat, kami tiba di Kiroran Uyghur Restaurant. Dengan kata lain, hari itu menjadi hari awal histori kami dengan restoran yang akhirnya menjadi tempat favorit kami untuk berkumpul. Atau mungkin lebih tepatnya tempat favorit dari Bimo yang memang mungkin masih berdarah Uyghur.
Lalu, bagaimana dengan perkuliahan saya di semester pertama? Well, ada 5 mata kuliah dengan total beban 24 SKS yang saya ambil. Lebih tepatnya, kelima mata kuliah tersebut adalah mata kuliah wajib semester 1 di jurusan saya. Saya akan coba sebutkan satu persatu. Ada Introductory Biostatistics dan Epidemiology Methods & Uses di mana kedua matkul tersebut dapat dikatakan sebagai satu kesatuan. Hal ini dibuktikan dengan tim dosen dan tutor yang sama. Pada akhirnya, kedua matkul ini menjadi matkul favorit saya selama berkuliah di USyd. Dr. Kevin McGeehan, penanggung jawab MPH Programme, menjadi dosen favorit saya. Saya penggemar dengan cara beliau mengajar Biostatistics, matkul yang cukup saya benci di program sarjana dulu. Semua yang sebenarnya sulit menjadi menarik bagi saya. Lagipula, dia selalu jujur dari awal bahwa matkul ini akan sulit dan setiap tahun banyak yang tidak lulus. Karena dia asli dari Scotland, aksennya menjadi terdengar “luar biasa” di antara aksen-aksen dosen atau tutor lain yang kental dengan aksen Aussie-nya. Yang menarik adalah di setiap slide awal kuliah, Kevin pasti sedikit berbagi pelajaran bahasa Scots dan ungkapan sehari-hari di negaranya. Bahkan sekali waktu, dia pernah berbagi resep makanan tradisional Scotland. Sempat saya ingin mencoba, tetapi tidak terlaksana hingga detik ini hehe.
Tutorial di kedua matkul itu dibimbing oleh Sophie Phelan, salah satu lulusan terbaik School of Public Health. Kesan pertama saya pada Sophie adalah badannya yang tinggiiiiiiiiiii sekali hehe. Memang saya terkadang merasa dia agak canggung atau gugup ketika memimpin tutorial. Namun, dia memang genius pada dasarnya. Dan yang saya apresiasi dari sistem dan metode kuliah di Australia adalah dosen dan tutor selalu memotivasi mahasiswa untuk tidak enggan bertanya.
“There’s no silly question”.They always said that again and again. Dan, ungkapan itu bukanlah tong kosong. Memang sepanjang perjalanan kuliah, baik saya maupun kawan-kawan sekelas yang menanyakan pertanyaan simple selalu dijawab dengan komplet dan sabar. Dosen-dosen dan para tutor pun benar-benar terlihat sangat antusias bila ada mahasiswa yang memberanikan diri untuk diskusi atau sekedar bertanya. Momen ini seakan menampar saya ke ujung dimensi. Mengapa? Karena, saya tidak pernah merasakan nuansa akademik seperti ini selama 5,5 tahun saya menjalani program sarjana. Tentu saya tidak mengatakan bahwa tidak ada dosen S1 saya yang seperti itu. Namun saya memang tidak merasakan suasana dan antusiasme yang sama dari sebagian besar dosen saya saat itu. Aroma bahwa dosen selalu benar itu masih kental terasa dan bahkan mungkin di hampir semua universitas, institut, dan sekolah tinggi masih seperti itu. Selama di USyd, saya selalu menemukan bila dosen atau tutor “mentok” atau salah, mereka akan mengatakan dengan jujur bahwa mereka tidak tahu akan satu perkara tersebut dan mereka akan minta maaf. Namun, pertanggungjawaban mereka jelas. Mereka akan membahas kembali unfinished business tersebut di kemudian hari atau akan membahasnya via online. Tanggung jawab akademik yang kuat dan nilai kejujuran yang dijunjung tinggi, mungkin kedua hal ini yang membuat University of Sydney menjadi kampus yang keren dan maju.
Matkul lainnya, yang merupakan matkul yang pada akhirnya membosankan dan cukup demanding, adalah Disease Prevention and Health Promotion. Mungkin bila disetarakan dengan jurusan yang ada di Indonesia, ini seperti mempelajari kebijakan kesehatan dan promosi kesehatan sekaligus. Ada 9 tutorial yang wajib diikuti sepanjang semester dan bernilai 10% untuk nilai keseluruhan unit ini. Tutorial dilaksanakan setiap hari Rabu setiap jam 4 sore. Namun di matkul ini, dapat dikatakan saya baru mendapat kawan yang cukup dekat. Ada mahasiswa yang berasal dari Nepal dan sudah 9 tahun tinggal di Sydney, Dheepak Bhusal. Sebenarnya, background pendidikan dan pekerjaannya adalah akuntansi. Dia berhenti dari pekerjaannya dan memutuskan untuk menjadi mahasiswa full-time. Menurutnya, mungkin MPH akan memberinya peluang baru di masa depan nanti. Well, selama 2 semeter ini, dia beberapa kali mengaku kerepotan dengan matkul-matkul yang sangat baru menurut dia. Ya, ini memang sudah diprediksi oleh yang bersangkutan. Pada perjalanannya, Dheepak memang menjadi kawan diskusi yang paling nyambung dengan saya. Di tutorial ini, ada juga mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa AAS (kalo gak salah ya) bernama Lucy Umboh. Saya beberapa kali bercakap dengan dia tetapi memang tidak terlalu sering. Ada juga Christian Jansen, mungkin orang Aussie pertama yang saya temui tinggi badannya tidak lebih tinggi dari saya hehehe. Dia ini pesepeda. Maka itu, badannya belang-belang karena terlalu sering kontak langsung dengan sinar matahari. Dia juga orang yang menyenangkan dan bila ada kesempatan pasti kami saling tegur sapa. Saya tahu medis atau kesmas bukan background dia. Meskipun cenderung terlihat kerepotan, dia termasuk mahasiswa yang aktif di kelas. Yang paling rajin mencatat dengan rapi dan apik adalah Natalie. Saya lupa dia darimana, tetapi dia orang yang ramah. Urusan baca jurnal wajib, pasti dia juaranya. Asli genius menurut saya. Natalie dan Dheepak adalah dua kawan yang pada akhirnya sama-sama dengan saya mengambil matkul Environmental Health di semester 2. Ada juga Shakthi Rameesh, dari USA. Dia baru lulus S1 dan langsung melanjutkan pendidikan di MPH USyd. Dia termasuk kawan diskusi yang cukup sering satu kelompok dengan saya. Dia termasuk orang pertama yang saya ajari tentang materi kuliah. Yang pasti, jarang-jarang saya bisa melakukan itu di sini hehehe. Ending-nya, saya mendapat nilai Pass di matkul ini dan setahu saya sebagian kawan juga mendapa nilai Pass, salah satunya adalah Batul Bazzi, wanita berhijab berdarah Lebanon-Australia dan besar di Brasil. Yang saya ingat dari dia adalah kami pernah berbagi cerita tentang kuliner di Indonesia dan Brasil. Sudah pasti, saya mempromosikan rendang daging, makanan terenak nomor 1 di dunia.
Bagi saya, 2 mata kuliah lainnya yakni Intro Qualitative Health Research dan Public Health Challenges tidak begitu menarik. Matkul yang disebut pertama dilakukan sepenuhnya online via Blackboard USyd dengan beban 4 SKS. Termasuk matkul yang sulit dan menjadikan wawancara langsung sebagai assessment-nya. Waktu itu, Rhiza yang saya jadikan narasumber tentang sikap orang terkait kesehatan. Public Health Challenges dilakukan dengan 2 kali seminar. Matkul ini adalah matkul pertama dan mungkin satu-satunya dimana saya melewatkan online discussion beberapa minggu tanpa menyadarinya. Sampai akhirnya dosen mengirim email langsung ke saya untuk menanyakan kabar dan email itupun terlambat saya buka. Untung saja saya mendapatkan nilai bagus di written assignment sehingga nilai akhir tidak terlalu mengecewakan. Sejak saat itu, saya menjadi rajin membuka email agar tidak terulang kembali hal bodoh yang serupa.
Selama semester 1 dan di periode liburan musim dingin, beberapa perjalanan saya lakukan bersama kawan-kawan Fall LPDP USyd. Foto di La Perouse mungkin menjadi “primadona” dan sempat saya posting di Path. Foto ini cukup fenomenal dan mendapat “like” cukup banyak. Well, setidaknya saya masih bisa berpose seperti James Bond (abaikan..). Perjalanan ke Scenic Park, Blue Mountain, menjadi pengalaman pertama saya menggunakan kereta antarkota. Saya salut dengan keasrian alamnya, tetapi tidak terkesan dengan wahananya. Konon, tempat ini dulu adalah lokasi pertambangan batu bara yang akhirnya tidak aktif. Di Hyde Park saat sesi fotografi bersama Fikri, saya mendapat pengalaman pertama melihat copet di Sydney. Saat itu, korbannya adalah turis asal Cina. Mungkin karena kesulitan berkomunikasi dalam bahasa Inggris, turis itu tidak berteriak minta tolong dan menolak penawaran saya dan beberapa orang di sekitar TKP untuk mengontak polisi. Ya, meskipun Sydney termasuk kota yang aman, itu bukan berarti insidens kejahatan menjadi nol. Alhamdulillah, bukan saya atau Fikri yang menjadi korbannya.
Dalam semester ini pula, saya mendapat pengalaman pertama nonton bioskop di negara orang lain. Captain America: Civil War mendapat kehormatan sebagai film yang saya pilih. Sayang sekali, saya tidak bisa melakukan hobi saya ini dengan frekuensi yang tinggi karena harga tiket yang mahal. Sebagai gambaran, harga tiket normal di Dendy Cinema Newtown mencapai AUD 20.00 atau kira-kira IDR 200 ribu!!! Ini sekitar 4—5 kali harga tiket standar di XXI. Bahkan meski mendapat concession dengan kartu mahasiswa, harganya masih mahal yaitu AUD 7.00 alias IDR 70 ribu. Tetap saja agak berat bila dipikir-pikir mengingat budget saya menonton bioskop di Indonesia biasanya tidak lebih dari 40 ribu rupiah sekali nonton (seringkali cari bioskop yang masih jual harga 25 ribu rupiah hehehe).
Another lesson to learn, hey my fellow Indonesians..?? Pretty damn right…!!!Ya mungkin di masa depan saya bisa menjadi inisiator untuk mengembangkan wisata pantai di Indonesia. Remember, love can make you achieve your dreams, even the most impossible or unthinkable ones…! (Maaf bila dirasa gak nyambung wkwk…). Intinya, saya terlalu cinta dengan pantai dan laut sehingga selalu berkeinginan untuk berbuat sesuatu terhadap pantai-pantai Indonesia. Sesuatu yang nantinya bisa bermanfaat dan terbuka bagi semua lapisan masyarakat TANPA BAYAR. Ammiin.
Overall, semester 1 termasuk menyenangkan bagi saya dan saya tidak akan memungkiri bahwa saya banyak menemukan hal-hal baru di sini. Sydney kota yang menyenangkan dan saya suka dengan keramahan orang-orangnya, terutama yang tinggal di suburbs. Namun sayang seribu sayang, disini kagak ada warteg brooooo…. -_-
-to be continued-
*Tulisan ini berasal dari perspektif pribadi. Bila ada kesalahan yang tidak disengaja atau pun disengaja, harap dimaafkan. Semoga bisa kembali di tulisan berikutnya.
No comments:
Post a Comment